Modal dan Ketimpangan

Karena satu dan lain hal, saya beberapa hari ini masak sendiri. Biasanya dimasakin. Sebagai nubie alias pemula, masakan saya berangkat dari pencarian resep di google. Dapatlah yang keliatannya enak dan mudah dicoba. Singkat cerita, karena tidak ada bahan saya pergi ke supermarket beli bahan.

Karena kurang pengalaman dalam masak (dan mungkin kurang bisa berimprovisasi cari pengganti bahan yang tidak ada), saya cari yang benar-benar persis di resep. Hasilnya adalah masakan saya enak menurut orang lain. Saya kira itu adalah kebetulan, tapi di masakan selanjutnya (beda hari) masakannya juga enak.

Apakah saya berbakat? Mungkin iya, mungkin saja enggak. Tapi deduksi saya karena (mungkin) masakan saya pakai ayam kampung. Bakal beda cerita seandainya saya pakai ayam broiler.

Kira-kira idiom yang pas dengan diatas adalah rega gawa rupa. Atau terjemahan bebasnya, banyak sedikitnya modal akan menelirkan hasil yang berbeda. Sepertinya dalam kehidupan kita juga demikian. Orang yang punya modal akan punya kesempatan dan hasil yang lebih bagus.

Hal ini mengingatkan saya ketika, saya mengajar di sebuah sekolah menengah kejuruan swasta di sebuah kota di Jawa Barat. Sebenarnya mereka semua sama dengan murid-murid SMA/SMK negeri. Hanya saja karena, menurut hemat saya, mereka kebanyakan tidak punya modal. Mungkin mereka bisa bersaing adu kepintaran/keterampilan dengan murid yang lain. Hanya saja permasalahannya mereka tidak punya modal.

Modal ini berarti luas, bukan hanya soal materi, orang tua, kakak/paman yang punya visi mengarahkan dan mengajari sang murid juga suatu modal.

Sepertinya juga, ketimpangan-ketimpangan dalam kehidupan ini juga karena adanya modal, privilage, hak lebih, kesempatan lebih yang dimiliki oleh orang satu tapi tidak dimiliki oleh orang lainnya.

Pertanyaannya apakah kondisi ini memang sengaja diciptakan? Terutama untuk melanggengkan hegemoni yang punya modal lebih. Atau memang cara kerja dunia memang seperti ini?

Suatu saat, dulu, saya pernah diskusi dengan guru saya. Bahwa ketimpangan-ketimoangan seperti ini bisa dihapuskan dengan sistem zakat. Sudah pernah ada contohnya juga kesuksesan penerapan sistem ini di masa lampau (silakan google ya). Jika memang ini adalah suatu solusi untuk sebuah kata keadilan, seyogyanya kita perlu menaatinya untuk “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Juga lebih lanjut, kata guru saya, ini adalah alasan kenapa ada dunia akhirat. ketidakadilan-ketidakadilan hari ini akan diadili di hari akhir kelak, diganti dengan sebuah keadilan-keadilan. Beliau juga mengingatkan, Allah SWT mahaadil jadi tidak mungkin Dia berbuat dzalim. Wallahu’alam.

Tinggalkan komentar