Tulisan tentang Kedewasaan

Hal yang paling bosan dari masa orientasi jaman feodal dulu adalah teriakan kakak kelas/kakak tingkat: “Tua itu pasti, dewasa itu pilihan”. Sejak dari SMP sampai S1, kata-kata itu masih terpekik dari kakak-kakak tingkat.

Bayangkan sejak SMP, sudah dengar seperti itu. Saya yakin kakak kelas pas SMP risetnya luar biasa untuk mendapatkan kata-kata kedewasaan itu, padahal yang teriak masih berumur belasan nan belia.

Sepintas saja kata-kata itu nampak benar. Tetapi menurut saya itu salah kaprah. Saat menjadi tua, seyogyanya sikap dewasa itu mengiringi. Saat menjadi tua artinya juga orang harus mampu menjadi dewasa sebagaimana mestinya.

Dalam budaya Jawa, ada konsep “nuani” yang berarti “menuakan diri” dengan dasar pijakan secara biologis sudah berumur sehingga memposisikan dirinya sebagai orang tua. Nuani berarti pula bahwa, setiap masalah dapat dibicarakan dengan baik-baik, bahwa setiap masalah bisa diselesaikan dengan kepala dingin, mengedepankan saling hormat dan saling sayang. Tidak saling menyalahkan.

Konsep lain di budaya Jawa yang berkaitan dengan umur adalah “Temua“. Dari kata dasar Tua, diimbuhi seselan/kata sisipan “em“. Temua lebih memiliki arti: tahapan seseorang dimana sudah bisa bersikap, bisa menempatkan diri, berani dan berdiri sendiri.

Kesalah-kaprahan dari sebuah kalimat “Dewasa adalah pilihan” barangkali terletak pada gagalnya orang menuntaskan tugas sosial dan kewajibannya dalam menjadi temua dan nuani. Ketidakberhasilan itu barangkali juga yang mengelompokan dua golongan: “tua dan dewasa” serta “tua dan kekanak-kanakan“. Sehingga terkesan orang bisa memilih menjadi dewasa atau kekanak-kanakan. Atau barangkali mereka lupa ya menjadi dewasa? Halah njlimet!

Tinggalkan komentar